KEARIFAN TRADISIONAL SEBAGAI SEBUAH ALTERNATIF

UNTUK DIPERTIMBANGKAN

 

Oleh : Choccy L. Matanari

(Mahasiswa Kehutanan USU Angkatan 2000)

 

Indonesia adalah negara yang memiliki hutan tropis terluas setelah Brazil dan Zaire. Kepulauan Indonesia adalah 13 % luas daratan dunia, namun memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Index) yang sangat tinggi. Hutan sebagai bagian dari Sumber Daya Alam memiliki arti dan peranan penting bagi kelangsungan hidup manusia. Selain sebagai penyuplai bahan baku, hutan juga berfungsi sebagai sumber plasma nutfah dan yang terpenting adalah sebagai penyangga kehidupan yang tidak tergantikan.

 

Melihat keberadaan hutan yang sangat vital tersebut perlu adanya pengelolaan yang baik dan tepat serta mengakomodir kepentingan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan laporan Bank Dunia dalam tahun 1970-an memperkirakan penyusutan dan kerusakan hutan sebesar 300.000 Ha / tahun, dalam tahun 1981 naik menjadi 800.000 Ha / tahun, dan dalam tahun 1990 terjadi lagi kenaikan menjadi 1 juta Ha / tahun.

 

Kalau kita cermati dewasa ini, laju deforestasi yang terjadi sudah semakin parah. Eksistensi hutan telah berada pada kondisi yang memprihatinkan. Penyusutan hutan telah mencapai titik klimaks, hal ini sesuai dengan data Badan Planologi Departemen Kehutanan tahun 2003 bahwa laju kerusakan hutan labih dari 3,8 juta Ha / tahun atau setara dengan 7 kali lapangan bola setiap menitnya.

 

Kegiatan illegal logging (penebangan liar), kebakaran hutan dan konversi lahan, semuanya ikut andil dalam mempercepat laju degradasi. Alam yang dulunya hijau dengan panoramanya yang mempesona sekarang telah berubah muram. Ironisnya kayu bulat yang diambil lewat ekploitasi vegetasi hutan setiap harinya berton-ton keluar dari kawasan hutan, tidak bisa dideteksi dan diketahui secara jelas siapa yang melakukannya. Logis kita berpikir, masa stakeholder yang paling dekat dengan masalah itu tidak mengetahui siapa yang melakukannya?

 

Lewat televisi sering kita  dengar bahwa banyak sekali pengedar narkoba yang ditangkap, padahal hanya membawa sedikit saja barang yang diharamkan tersebut. Padahal kayu bulat yang kasat mata dan memiliki ukuran lebih besar lewat begitu saja? Negara-negara luar seperti Malaysia banyak mengimpor kayu bulat illegal dari negeri ini. Nah yang menjadi pertanyaan siapa dibalik itu semua?

 

Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat juga masih tergolong memiliki tingkat kesadaran yang relatif rendah akan pentingnya hutan. Hutan hanya dipandang sebelah mata, dalam artian bahwa hutan hanya ditilik dari aspek ekonomi semata tanpa mempertimbangkan aspek ekologisnya.

 

Hutan hanya sebatas penghasil kayu, tidak lebih. Padahal secara sadar atau tidak sadar banyak aspek sosial budaya masyarakat berlangsung di hutan. Hal ini menyangkut kearifan tradisional yang seyogianya dikaji lebih dalam, banyak yang potensial untuk dikembangkan dan diadopsi demi tercapainya konsep kelestarian yang selama ini menjadi sorotan global. 

 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Green Ekonomic bahwa kontribusi hutan dari jasa-jasa lingkungannya, seperti oksigen, air dan penyerapan karbon serta stabilitas iklim mencapai 70 triliun rupaih / tahunnya. Beranjak dari pernyataan ini, maka sangat konyol ketika ekosistem hutan dikorbankan untuk mengejar kepentingan ekonomi sesaat.

 

Ditinjau dari pembangunan yang selama ini dikembangkan dengan dalih untuk kesejahteraan bangsa, seolah-olah hanyalah kamuflase. Malahan pembangunan berorinted profit yang digembor-gemborkan di negeri tercinta ini banyak yang menyengsarakan bukan mensejahterakan.

 

Sebagai contoh, kita bisa melihat pertambangan yang ada di Irian Jaya (Freeport) telah menorehkan sejuta kisah dan masalah baru yang justru lebih memprihatinkan. Dengan mengorbankan hutan lindung dan hak-hak ulayat masyarakat untuk diekploitasi dan diambil kandungannya yang memiliki nilai mahal. Tetapi kontribusinya untuk masyarakat itu sendiri perlu dipertanyakan. Masyarakat sekitar terbukti masih banyak yang masih mengenakan  k o t e k a. Dimana kesejahteraan yang di dengung-dengungkan selama ini ?

 

Celakanya, kegiatan – kegiatan yang justru banyak menimbulkan masalah justru dilegalkan oleh pemerintah. Ternyata dari kecenderungan yang terjadi selama ini, pemerintah masih terlalu mudah untuk dikelabui. Akhir-akhir ini pemerintah mengeluarkan Perpu No 1 tahun 2004 yaitu tanggal 11 Maret 2004 yang isinya memberi kompensasi izin bagi perusahaan pertambangan yang telah memiliki Kontrak Karya untuk tetap melakukan open pit mining di hutan lindung.

 

Dalam harian kompas 15 Maret 2004 memaparkan DPR mempertanyakan keluarnya  Perpu No 1 tahun 2004 dan belum menyetujui Perpu tersebut, namun proses itu masih misterius, pemerintah sudah mengeluarkan Kepres No 41 Tahun 2004 dengan melampirkan daftar 13 perusahaan tambang termasuk 3 diantaranya berada di wilayah Sumatera Utara yang diizinkan melanjutkan kegiatannya.

 

Kembali hati nurani kita berbicara, mau dikemanakan bangsa dan negeri tercinta ini? Dimana hati nurani pemerintah dan apa dibalik itu semua ? Apakah kita akan membiarkannya begitu saja? Barangkali masih sangat kental dalam ingatan kita banjir bandang yang melanda Bohorok, petaka yang terjadi 2 Nopember 2003 telah menelan ± 200 korban jiwa dan membumihanguskan harta kekayaan lainnya, semuanya lenyap hanya dalam waktu sekejap.

 

Tragedi memilukan ini adalah sebuah peringatan bagi kita semua. Segenap stakeholder, selayaknya bahu membahu menjaga kelestarian alam (hutan), bukan justru menindas kaum yang tertindas (pihak yang lemah). Paradigma pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat (Community Based Management) hendaknya tidak hanya menjadi sebatas konsep. Konsep yang membuka peluang keterlibatan masyarakat direalisasikan dengan sebenar-benarnya.

 

Untuk lebih meningkatkan keterlibatan masyarakat ada baiknya potensi-potensi lokal (kearifan tradisional) yang ada di setiap daerah untuk dipertimbangkan. Sebagai contoh pada masyarakat Pak-Pak Dairi ada yang dikenal dengan “Menanda Tahun” yaitu merupakan upacara yang dilakukan sebelum menanam padi. Dalam upacara tersebut terkandung sejumlah aturan dan tabu yang mengatur bagaimana perladangan harus dilakukan dengan baik. Dalam membuka lahan masyarakat juga tidak sembarangan, tetapi akan diawali dengan musyawarah yang dalam dialek Pak-Pak disebut dengan Runggu.

 

Lain halnya dengan di Tapanuli Selatan yang disebut dengan Lubuk larangan yaitu penetapan daerah aliran sungai (DAS), hal ini erat kaitannya pelestarian DAS. Di Bali dikenal dengan Awig-awig yaitu seperangkat aturan tidak tertulis yang dijadikan acuan dalam pelestarian hutan. Begitu banyak budaya dan tradisi yang merupakan ciri khas kita, yang sebenarnya masih layak dijadikan acuan untuk pelestarian hutan yang lebih partisipatif.

 

Artikel lain :