|
||||||||||
|
|
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
POTRET HUTAN DAN KEHUTANAN SERTA POSISI RIMBAWAN INDONESIA
Oleh : Masrizal Saraan Mahasiswa Kehutanan USU (Koordinator Bidang Kerjasama PP SI)
Pendahuluan Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan laju pengurangan luas hutan alam yang terbesar di dunia. Data menunjukkan laju pengurangan luas hutan tersebut di pulau Sumatera mencapai 2 % per tahun, di pulau Jawa mencapai 0,42 % per tahun, di pulau Kalimantan mencapai 0,94 % per tahun, di pulau Sulawesi mencapai 1 % per tahun dan di Irian Jaya mencapai 0,7 % per tahun. Pengurangan luas hutan tersebut terjadi akibat proses laju penurunan mutu hutan (degradasi) dan penggundulan hutan (deforestasi). Beberapa studi menunjukkan laju degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia mencapai rata-rata 1-1,5 juta hektar per tahunnya. Pada umumnya laju kerusakan hutan di Indonesia diakibatkan oleh Illegal Logging, kebakaran hutan, pembukaan kawasan hutan untuk pemukiman, pertanian, perkebunan, dan lain-lain. Hal ini terjadi karena masih lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM), penegakan hukum, dan rendahnya tingkat kemiskinan penduduk Indonesia. Konservasi merupakan salah satu prioritas program pemerintah dalam menyikapi kerusakan hutan indonesia yang sudah semakin parah dan berada pada derajat rawan. Sekitar 70% dari total kawasan Konservasi telah mengalami degradasi yang bila ditelusuri secara lebih dalam sebenarnya disebabkan karena faktor sosial.
Kecenderungan Permasalahan Kehutanan l Persoalan kerusakan lingkungan terkait jaringan lokal, regional, global l Semakin banyak sarjana kehutanan dicetak, hutan-lingkungan hidup semakin rusak l Penegakan hukum tidak efektif l Masyarakat setempat “dimanfaatkan” l Masyarakat setempat terkena dampak langsung
Motif Needs dan Greeds Ekonomi Pada Illegal Logging Kecenderungan kerusakan atau pengrusakan hutan bermuara pada ”masalah perut” atau dengan kata lain sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan hidup, namun disisi lain motif kegiatan penebangan liar merupakan hasrat akumulasi keuntungan. Disini kita sebut dua motif tersebut sebagai turunan dari needs (kebutuhan) dan greeds (keserakahan) ekonomi. Kita harus dapat memetakan illegal loging berdasarkan dua motif itu agar penanganannya dapat menyentuh kepada akar masalah. Para aktor illegal loging yang bermotif greeds economic harus menjadi sasaran penegakan hukum. Dua bentuk penanganan tersebut harus mampu berjalan secara terintegrasi agar hubungan simbiosis mutualisme ekonomi antara aktor yang bermotif needs dengan aktor yang bermotif greeds itu dapat terurai. Para aktor bermotif needs itu biasanya dari akar rumput, sementara aktor yang bermotif greeds adalah cukong atau pemodal. Bukan tidak mungkin motif needs berubah menjadi greeds karena sekedar diperalat oleh para pihak yang mengincar keuntungan berlipat. Sehingga mata rantai haram pun akan semakin sulit dikendalikan. (Sylva Indonesia, 2005)
Posisi Rimbawan Disiplin ilmu kehutanan semakin berkembang dan semakin banyak orang yang tertarik untuk mendalami bidang kehutanan, namun siapakah yang pantas menyandang predikat rimbawan… Rimbawan sejati mempunyai tiga ciri, yaitu; Mempunyai kompetensi, integritas dan independent. Kemampuan seorang rimbawan untuk meningkatkan pengetahuan di bidang kehutanan. Penemuan jati diri sebagai seorang rimbawan perlu ditanamkan sehingga terciptanya kemandirian dalam bekerja. Perwujudan rimbawan pancasilais, rimbawan pejuang adalah berketuhanan Yang Maha Esa, nasionalis, humanis, sosiawan, demokrat dan hutan sebagai medan bakti penunaian tugas rimbawan, yaitu bahwa seorang rimbawan yang sadar bahwa hutan sumber kekayaan alam, sebagai manifestasi keagungan Tuhan YME, yang terdiri dari unsur-unsur tanah, air, udara, api/matahari, yang menjadi medan baktinya untuk dikelola berdasarkan asas-asas kelestarian, hasil optimal, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Perwujudan Rimbawan Pancasilais, Rimbawan Pejuang, DR. Soedjarwo)
Apa yang salah? Sebagai seorang yang berkecimpung di dunia pendidikan, terlebih menyandang status sebagai rimbawan, kita pantas untuk menanyakan hal tersebut diatas kepada masing-masing diri kita. Apakah kita telah berbuat sesuatu untuk meminimalisir kerusakan lingkungan? Secara umum, penulis menggambarkan ada tiga hal sumber kerusakan hutan yang datangnya dari rimbawan itu sendiri:
Selama ini, banyak kebijakan-kebijakan kehutanan yang tidak berpihak kepada alam dan cenderung dikeluarkan berdasarkan kebutuhan sesaat atau kebutuhan saat itu. Hal ini mencerminkan posisi para pengambil kebijakan yang tidak memiliki moral seorang rimbawan, belum lagi banyaknya rimbawan yang ketika masih berstatus mahasiswa mengepalkan tangan diatas untuk kepentingan hutan, namun ketika duduk menjadi pengambil keputusan, ia sudah melupakan apa yang pernah ia perjuangkan.
Selama ini, Ketika berbicara tentang hutan maka yang ada di benak kita adalah bagaimana memanfaatkan hutan untuk menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Ini adalah cerminan pola pikir (mind set) yang eksploitatif dan harus ditinggalkan.
Rimbawan dituntut untu memiliki keahlian dalam menaganai permasalahan hutan dan kehutanan. Kenyataannya selama ini banyak pengambil kebijakan tidak memilikinya. Dalam pengelolaan hutan dan upaya untuk mengurangi laju degradasi hutan, ketiga hal tersebut harus dimiliki oleh rimbawan terlebih seorang pengambil keputusan dan harus bersinergi antara satu dengan lainnya. Apabila terjadi ketimpangan maka yang terjadi adalah kebijakan yang salah arah. Contohnya adalah seorang Menteri Kehutanan mempunyai pola pikir yang bagus serta moral dan mental yang mendukung terkait dengan pengelolaan hutan Indonesia, tetapi jika tidak memiliki skill akan melahirkan gebrakan dan kebijakan yang sifatnya hanya bagus di atas kertas saja. Oleh karena itu apabila ketiga hal tersebut diatas telah dimiliki akan menciptakan seorang rimbawan yang berkualitas sehingga akan tercipta sumberdaya alam dan hutan yang lestari. Berikut, penulis mencoba mendeskripsikan alur pembentukan sumberdaya manusia yang akan menciptakan SDA hutan lestari;
Tantangan Masa Depan Dalam menghadapi proses deforesatasi yang kian menambah ”sakit” hutan kita dan prioritas ”penyembuhan” kehutanan nasional, rimbawan memiliki beberapa tantangan kedepan, yaitu:
Oleh karena itu sangat diperlukan SDM Rimbawan yang memiliki integritas moral, kemampuan profesionalisme, kemampuan kepemimpinan, dan kemampuan untuk bekerjasama. Karenanya rimbawan harus berkomitmen (COMMITTED), konsekuen (CONSEQUENT), konsisten (CONSISTENT), dan percaya diri (CONFIDENT) dalam mengemban amanah untuk mengelola hutan secara lestari dan mensejahterakan masyarakat. (Wahyudi Wardoyo, Sekjend Dephut RI)
Penutup Dunia pendidikan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam menciptakan sumberdaya manusia yang akan terjun dalam pengelolaan sumberdaya alam, akan tetapi pengetahuan harus sejalan dengan penanaman nilai-nilai moral akan pentingnya keberadaan hutan terhadap keberlangsungan kehidupan di alam ini. Moral dan mental tidak dapat dibentuk secara instan melalui dunia pendidikan formal (Universitas, Sekolah Tinggi dan lain lain) tetapi akan tumbuh melalui suatu komunitas yang mendapatkan ilmu dari Universitas dan -dengan kemauan yang tinggi ingin memperbaiki kerusakan hutan- melakukan kajian-kajian intensif untuk mencari solusi akan permasalahan tersebut serta langsung mengaplikasikannya di lapangan. Sebagai bagian dari masyarakat, mahasiswa kehutanan perlu untuk mengkaji lagi eksistensinya di dalam bermasyarakat. Sejauh mana kita telah memberikan sumbangan kepada masyarakat melalui aksi atau sumbang saran dan pikiran. Pengubahan kerangka pikir kita kearah depan perli dikembangkan dengan tidak membatasi semua pengetahuan yang terbentang dialam. Masa depan, kita yang akan menentukan. Kita tergantung pada hutan, bukan hutan tergantung pada kita. Kita jangan lupa bahwa selama ini yang mengelola hutan kita adalah para rimbawan yang dulu pernah duduk di bangku kuliah seperti kita saat ini. Hutan masa depan akan dikelola oleh kita, semoga kita dapat melestarikan dan memanfaatkannya. |
Artikel lain :
|
|
|
||||||||||||
|
|||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|